Keberadaan moda transportasi berjenis taksi memang cukup membantu. Terutama untuk perjalanan yang mendesak (terburu-buru), ga mau repot gonta ganti angkutan, bawa barang banyak, atau karena alasan yang lain. Namun bagi saya, taksi bukan transportasi pilihan utama. Taksi hanya sebagai alternatif terakhir bila benar-benar kepepet. Karena kita tahu, bahwa tarif taksi memang ga bersahabat dengan kantong kaum sudra semacam saya. hehe…. Akan tetapi, ada beberapa kondisi (menurut saya) yang bisa jadi alsanan saya untuk menggunakan jenis transportasi pribadi ini. Kondisi-kondisi tersebut antara lain misalnya:

  • taksi-kuning1Sudah malam dan tak ada transportasi lain,
  • Berada diluar kota yang masih asing yang tidak tahu lokasi dan rute angkot disana, atau
  • Diajak temen-temen untuk naik taksi. hehe,,,

sumber gambar: http://kaltim.tribunnews.com/2015/02/18/inilah-daftar-taksi-berikut-call-center-di-balikpapan

sumber gambar: http://cdn-2.tstatic.net/kaltim/foto/bank/images/taksi-kuning1.jpg

Saya berkesempatan naik taksi juga baru beberapa tahun terakhir ini. Maklum lah, di kota dekat tempat tinggal saya baru ada taksi sekitar 4 atau 5 tahun terakhir ini (Di kotanya saja begitu, apalagi di desa …. hehe..). Dari beberapa kali pengalaman naik taksi (konvensional) di beberapa tempat, saya menemukan beberapa ketidakpastian tarif ketika naik taksi.

Pertama kali saya naik taksi, adalah ketika berada di kota Bandung (tahun 2013). Dari daerah sekitar Trans Studio mau menuju ke Pasar Baru. Karena baru beberapa hari tinggal di Bandung, kami (saya dan 2 orang temen saya) belum paham betul dengan rute angkutan yang ada (bejibun) di kota Bandung. Bersama dua orang temen, kami memutuskan untuk naik taksi. Kebetulan di dekat tempat tersebut terdapat pangkalan taksi. Temen sayapun bertanya pada sopir taksinya: “Bang, ke pasar baru berapa?”. Sopir taksi menjawab: “lima puluh ribu bertiga”. Kami coba menawar, akhirnya sepakat empat puluh ribu. Nah, pulangnya, kami juga naik taksi lagi. Akan tetapi untuk kali ini, tanpa aksi tawar menawar. Sopir taksipun menyalakan argo. Sampai di tujuan (asrama), ternyata argonya cuma menunjukkan angka 17.000. Namun, karena tarif minimalnya adalah 20.000, jadi kami harus membayar tarif 20.000.

Dari kejadian tersebut saya mengambil kesimpulan bahwa kalau kita mau naik taksi mending kita percaya saja pada argo. Hitung-hitunganya lebih murah. Setelah itu, ketika saya menggunakan jasa taksi (ketiak di Bandung, maupun ketika pulang dan sampai di Magelang masih kepagian), saya pasrahkan saja pada argo yang berjalan.

Sampai suatu ketika, saya mendapat undangan untuk suatu acara di kota Solo pada bulan Oktober 2015. Waktu itu saya berangkat dari Magelang sekitar jam 18.00 WIB. Dan sampai di Terminal Solo sekitar jam 22.30 WIB. Sayapun bergegas mencari pangkalan taksi di dekat terminal. Bertanya pada seorang yang berada di pintu keluar terminal, saya ditunjukkan ke suatu tempat dan kemudian saya diajak oleh seorang bapak sopir taksi (yang sudah lumayan tua) yang mangkal disitu menuju taksinya. Sesampainya di tempat parkir taksinya, tanpa tawar menawar, saya langsung masuk ke taksi. “Pasrahkan saja pada argo yang berjalan” batin saya. Akan tetapi, ternyata sopir taksi tersebut tidak menyalakan argonya. Dalam perjalanan, saya coba bertanya pada bapak tersebut: “Argonya ga dinyalakan pak?” Sopir taksi tersebut malah menjawab dengan nada tinggi: “Saya ini sudah hapal daerah sini.” katanya.  “Kalo cuma dari terminal menuju jl. Bayangkara itu ga ada 20 kilometer. Jadi tarifnya pake tarif minimal 27.000” tambahnya. Demi tidak memperpanjang masalah, sayapun diam dan mengikuti kemauan sopir taksi tersebut. Walupun dalam hati saya bergumam “Sopir tuwo kok yo sih galak yo,,,,Ra iling umur po“. Setelah sampai di tujuan, saya berikan uang 30.000, dan sayapun langsung turun tanpa meminta uang kembaliannya.

Pada kesempatan berikutnya, pada bulan Desember 2015, saya hendak menuju ke Medan bersama rombongan dari Solo. Sebelumnya panitia rombongan sudah memberi penjelasan bahwa kita akan berkumpul di Bandara Adi Sumarmo jam 12.00 WIB. Karena jadwal pesawat berangkat sekitar jam 13.50 WIB. Jarak dari tempat tinggal saya ke Solo bisa ditempuh kurang lebih 3,5 jam, maka saya berangkat sekitar jam 08.00 pagi. Dan benar saja, saya sampai di Kartasura (jalan menuju Bandara) sekitar jam 11.30 WIB. Saya mampir warung dulu untuk sekedar mengisi perut yang sudah kosong. Setelah itu, saya mencari taksi untuk menuju ke Bandara Adi Sumarmo. Akhirnya ketemu dengan taksi model MPV warna merah maroon (kalu ga coklat tua), sayapun langsung naik dan bilang ke pak sopirnya:”Bandara Pak”. Kemudian taksipun berjalan. Lagi-lagi sopirnya tidak menyalakan argo. Sayapun diam saja dan tak menggubrisnya. Saya pikir bahwa taksi di Solo memang ga pake argo kalo jaraknya deket, dan langsung tembak tarif minimal (berdasar pengalaman yang lalu). Dalam perjalanan, sopir taksi tersebut mengajak ngobrol dengan menanyakan alamat saya. Saya menjawab Magelang pak,,,,  Ternyata pak sopir ini sering juga mengantar penumpannya sampai ke daerah tempat tinggal saya. Kemudian saya tanya tarif taksi dari Solo ke daerah saya kira-kira berapa? Sopirnya menjawab “sekitar 350.000” katanya. “Malah lebih murah kalo jauh mas, kalo menuju bandara gini malah agak mahal. tarifnya 75.000” tambahnya. “Weits,,,, mahal amit” batinku. Padahal jaraknya cuma sekitar 5 sampai 6 KM. Tapi saya diam saja, saya beranggapan bahwa saya salah dengar. Hehe,,,

Sesampainya di Bandara, saya keluar dan menanyakan kembali berapa tarifnya, sopir taksi tersebut menjawab 75.000. Sayapun mengulurkan selembar uang seratus ribuan, kemudian diberikan kembalian 25.000. Tanpa bilang terima kasih dan tanpa melihat wajah sopir taksi tersebut, saya langsung ngeloyor pergi sambil berkata dalam hati: “Woooo, Pancen Asu….”.